Pasar tradisional adalah jantung kehidupan masyarakat Indonesia—tempat di mana aroma rempah, teriakan pedagang, dan hiruk-pikuk pembeli bercampur menjadi satu kesatuan yang khas. Tapi di balik daya tarik kuliner pasar kotor, tersembunyi pula praktik-praktik yang sering kali luput dari perhatian, salah satunya adalah penyajian makanan dalam wadah yang tidak layak, seperti gulai panas yang disajikan langsung dari ember plastik.
Aroma Menggoda, Wadah Meragukan
Siapa yang bisa menolak aroma gulai kambing atau gulai ayam yang menyengat https://manninospizzeria.com/ harum di pagi hari? Di banyak pasar kotor, gulai jadi menu favorit para pengunjung, apalagi saat perut masih kosong. Daging empuk, kuah santan kental yang kaya bumbu, dan rasa pedas gurih yang menampar lidah membuatnya tampak menggoda.
Namun, pemandangan yang menyertainya tak kalah “menohok”. Gulai yang menggugah selera itu sering kali ditampung dalam ember plastik berwarna cerah—yang entah dulunya bekas wadah cat, oli, atau sabun cair. Beberapa di antaranya bahkan tidak memiliki penutup, dibiarkan terbuka di tengah kepulan debu, lalat, dan lalu lintas kaki yang sibuk.
Risiko di Balik Lezatnya Rasa
Penggunaan ember plastik untuk makanan panas bukan hanya soal estetika, tapi soal keselamatan pangan. Ember plastik umumnya tidak dirancang untuk menampung makanan, apalagi makanan panas. Suhu tinggi dari gulai dapat memicu pelepasan senyawa kimia berbahaya seperti BPA (Bisphenol A) atau ftalat dari plastik ke dalam makanan.
Zat-zat ini, jika masuk ke tubuh dalam jumlah besar dan terus-menerus, dapat memicu masalah kesehatan serius seperti gangguan hormonal, kerusakan hati, bahkan risiko kanker. Ironisnya, masyarakat awam yang tergoda kelezatan gulai pasar sering kali tidak menyadari bahaya jangka panjang ini.
Dilema Pedagang Kecil
Bagi sebagian pedagang kaki lima atau warung dadakan di pasar, menggunakan ember plastik adalah solusi ekonomis. Wadah stainless steel atau alumunium memang lebih aman, tapi harganya mahal dan berat untuk dibawa. Sementara ember plastik murah, ringan, dan mudah dicari di mana saja.
Kondisi pasar yang becek, minim sanitasi, dan serba darurat juga membuat standar penyajian makanan menjadi sekadar “asal bisa jual”. Dalam banyak kasus, kepatuhan terhadap higienitas dan keamanan makanan jadi nomor dua setelah kebutuhan untuk bertahan hidup.
Jalan Tengah: Edukasi dan Solusi Murah
Untuk menyelesaikan persoalan ini, bukan berarti pedagang harus diberi sanksi atau dipaksa membeli alat mahal. Edukasi dan penyediaan alternatif murah bisa menjadi solusi. Pemerintah daerah atau organisasi masyarakat bisa berperan dengan memberikan pelatihan, subsidi wadah makanan yang aman, atau kampanye sadar pangan sehat.